Featured

Cerpen – Cerpen Terbaik

Jawapos sebagai koran terbesar, dan terluas jaringanya,

Setiap hari minggu selalu menampilkan halaman sepesial, yaitu Cerpen dan Wayang Durga. Cerpen Diisi oleh cerpenis-cerpenis ternama, sedang Wayang durga di isi tetap oleh sujiwo tedjo.

silahkan anda nikmati hasil karya-karya beliau, yang sangat mengaduk-aduk perasaan pembacanya.

Anda Ingin langganan Jawa pos? Hubungi Agen koran terdekat..

Monolog Angka

Cerpen : Whani Darmawan

JawaPos, Minggu, 12 Januari 2020

DI suatu waktu, temaram –tak merujuk kegelapan malam, juga terlalu suram untuk mewakili siang– menaungi sebuah bangunan besar. Superbesar. Nyaris sebesar gunung. Di halamannya terpancang papan nama besar dengan susunan huruf kemilau bertulisan ”Perguruan Akal Budi Siap Pakai”.

Inilah tempat kondang bergengsi. Konon, tempat di mana para tunas bangsa ditempa. Jika dilihat dari luar, ia nyaris seperti bukit belaka. Menggunduk dalam ketenangan yang sunyi. Bukan. Ketenangan yang miris.

Bukan satu atau dua kali saja berita kematian siswa secara misterius berembus dari sana. Tapi, toh berita itu seperti helai kapas yang diembus angin pegunungan. Lenyap tak berbekas. Tetapi, ada pula orang yang menyatakan bahwa betapapun, bangunan itu adalah candradimuka anak bangsa terbaik. Sementara, tak sedikit yang dengan sinis menyatakan bahwa tempat itu tak lebih dari sekolah tukang jagal.

Berapa orangkah yang pernah menengok ke dalam bangunan? Kesimpulan satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda. Terlepas dari itu, bukti bahwa bangunan itu tetap berdiri sampai hari ini pastilah karena ada sistem yang kukuh. Orang memang tak bisa mendekati bangunan tersebut dengan mudah. Sebab, bangunan tersebut dilingkari sabuk jalan yang superlebar dan berliku. Dan, itu bukanlah jalan umum. Jadi, jalan superbesar itu pun lengang.

Andai saja ada orang yang bisa mendekat ke bangunan itu, pasti akan mendengar suara ledakan-ledakan. Suara-suara itu sering terdengar dari dalam sana. Ledakan apakah itu?

Bukan. Itu bukan suara mercon, apalagi pistol. Itu adalah suara ledakan ujung cambuk yang membelah udara. Suara yang ditimbulkan getas dan nggegirisi. Suara cambuk itu dihasilkan oleh tangan seseorang yang di lingkungan itu disebut sebagai Sang Penentu. Siapakah dia?

”Wooooeeeiiii!! Jangan jadi orang kampungan!” Terdengar orang yang bersangkutan melontarkan suaranya. ”Kalian di sini dididik secara intelek! Jangan jadi orang kasar macam orang jalanan saja! Woooeeiii! Kamuuu! Kamu siaapaaa!? Memangnya gampang ngurus tunas bangsa seperti kalian? Kita dibayar dengan uang rakyat! Kita harus mengembalikannya dalam bentuk keberhasilan cita-cita kalian. Ngerti tidaaaakk?”

Di ruangan tak ada seorang pun, kecuali Tokoh Bercambuk itu. Lalu, bicara dengan siapakah dia? Orang ini mengenakan busana safari, sebagaimana gambaran para pemburu di film-film Hollywood. Atau, seperti busana yang dikenakan Rob Bredl dari Bredl Wild Farm Australia atau almarhum Steve Irwin, pengelola Australia Zoo di Beerwah, Queensland.

Di tangannya terpegang cambuk kulit yang jika terjulur ke udara panjangnya bisa mencapai tiga meter. Setelah meledakkan ujung cambuknya ke udara, Tokoh Bercambuk tersebut mencantelkan cambuknya di sebuah kapstok. Dia berdiri, menarik napas dalam-dalam, dan menyapu ruangan itu dengan pandangannya. Dia lalu berjalan menuju kursinya. Di meja depannya ada sebuah papan nama bertulisan Prof Dr Didik ST, SE, SSos, SH, SKom, SS, SSn, PhD, SAP, SStat, MT, MSM, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, CFP, AffWM, BKP, QWP.

Entah gelar apa saja yang merumbai-rumbai di belakang namanya tersebut. Yang jelas, kalau melihat penampilannya, gelar itu TIDAK cocok. Penampilannya kurang sempurna sebagai akademisi. Dia malah menyerupai pawang. Ah, jangan-jangan dia memang pawang. Pawang Didik. Ah, tak ada bukan gelar seperti itu? Kita sebut orang ini sebagai Tokoh Bercambuk sajalah.

Ruangan itu sebenarnya sama sekali tidak tampak seperti tempat akademik maupun lembaga edukasi meski dipenuhi buku-buku dan laptop. Abu dan puntung rokok bertebaran. Botol-botol minuman beralkohol kosong maupun setengah isi bergelimpangan di sana-sini. Di antara panorama tersebut yang paling menonjol justru serangkaian puzzle yang terbuat dari dus-dus berukuran besar. Terserak memenuhi lantai sehingga gambar keseluruhannya tak terlihat dengan jelas meski sebagian sudah tertata.

Tokoh Bercambuk tampak lelah. Dia duduk di sebuah kursi. Dia lalu mengucek matanya yang memang kuyu, dengan lengkung hitam di kantung mata yang seolah-olah menjadi penanda bahwa yang bersangkutan sudah berabad-abad tak memejam dalam tidur. Dia menggumam gundah.

”Banyak orang tidak tahu betapa sibuknya kami. Ya, kami. Pawang Didik yang diserahi tugas untuk membuat kurikulum. Orang-orang yang terdidik untuk bisa menggerakkan massa menjadi gelombang yang siap menerjang kehidupan. Mereka, orang-orang banyak, para intelektual bebas itu, cuma bisa mengkritik. Mereka sungguh tidak mengerti dunia pendidikan yang sesungguhnya! Dunia pendidikan itu tidak hanya berhadapan dengan manusia, tetapi juga angka-angka. Jangan dibalik. Generasi ini harus diperlakukan sebagai angka. Tidak manusiawi? Kata siapa? Tengok sono pendidikan di kuil Shaolin. Seorang anak lima tahun dipaksa mengangkangkan kaki. Split. Demi kesempurnaan bentuk tendangan. Si bocah sampai meringis-ringis, bahkan menangis. Tidak manusiawi? Lebih tidak manusiawi mana daripada kelak ketika dewasa mereka tak mampu menghadapi kejamnya kehidupan? Manusiawi yang mana? Manusiawi dari Hongkong!? Dan memangnya ukuran manusianya itu manusia kapan? Zaman baheula? Purba? Megalitikum? Pithecanthropus erectus? Mikiiiirr!”

Sampai saat gerundelan itu menjelma monolog, tetap tak ada orang lain di ruangan itu.

”Untuk memulai semuanya, ukuran dan data statistik menjadi catatan penting. Ibarat sensus, matrikulasi, silabus, jumlah jam per minggu dan kurikulum mesti pasti supaya tidak meleset ketika diterapkan terhadap peserta didik. Memangnya gampang menerima tanggung jawab sebagai Pawang Didik di negeri koprol ini? Bukan hanya binatang yang butuh pawang. Para tunas bangsa apalagi.”

Tokoh kita kini berdiri memandangi puzzle yang berserak di sekelilingnya. Menghela napas, kemudian mendekati potongan puzzle yang tergeletak di suatu sudut, memungutnya, dan berusaha menatanya sambil bicara.

”Sebenarnya menata semua puzzle ini tidak susah. Di luar pencocokan gambar, sebenarnya saya menandai dengan angka-angka di belakangnya. Hehehe. Hmm, orang sering salah dengan semua ini. Angka-angka ini sangat penting dalam penataan kurikulum. Jumlah jam dengan angka, urutan dengan angka, hasil penilaian dengan angka, hitungan jumlah murid juga angka. Tidak mungkin tidak menggunakan angka. Dan untuk mempermudah penataan kurikulum, kami selalu menggunakan simbol. Ini penting untuk mendisiplinkan. Daaan……..”

Tokoh kita menghela napas sambil menimang puzzle di tangannya.

”Inilah selingan saya saat otak penuh dengan kurikulum pendidikan. Permainan puzzle ini meringankan saya. Ada pengamat psikologi yang mengatakan kepada saya bahwa puzzle yang sudah terbentuk sebaiknya dihancurkan kembali. Kenapa? Katanya, pendidikan itu tidak boleh masif, tidak boleh hanya repetitif sehingga menimbulkan kemacetan atau stagnasi. Maka, dia mengharapkan saya berani menantang diri saya sendiri untuk selalu menghancurkan, menata kembali, menghancurkan, menata kembali. Supaya saya selalu tertantang pada pembaruan-pembaruan. Karenanya, mereka yang tinggal di sini terpaksa betah. Hihihi…”

Terdiam sejenak, dan tiba-tiba suara hihi-nya terdengar kembali. Kali ini dengan resonansi yang aneh, seperti suara perempuan di puncak pohon kelapa pada malam keramat. Dan Tokoh Bercambuk ternyata takjub sendiri dengan kalimatnya yang tak selesai itu. Hihi-nya hilang, berganti haha yang membahana. Tawanya terbahak, tetapi penuh desis oleh riak ludah kental yang menghuni kerongkongannya. Kemudian tiba-tiba diam dan mengasyiki puzzle mainannya. Kelamaan gambar dalam puzzle itu semakin jelas meski belum selesai semuanya. Yakni, bendera Merah Putih yang berkibar. Di bawah gambar itu ada tulisan yang belum selesai. Ing Madya Mangun Kar…

Mendadak tokoh kita membanting sebuah puzzle.

”Tai kucing! Persetan dengan Arthur Combs, David Kolb, Honey, Mumford, Habermas, Abraham Maslow! Fuck Carl Ransom Rogers! Drijarkara! Tidak usah mengajari bagaimana saya mendidik tunas bangsa itu! Menyusun puzzle dan menghancurkannya kembali? Omong kosong! Jangan mempersulit diri sendiri. Pendidikan harus dibak
ukan! Bentuklah manusia-manusia setangkas mesin dan sepasti matematika!”

Dia terus berbicara tak jelas sambil memunguti potongan puzzle lainnya dan melihat dinding belakangnya, lantas membantingnya kembali. Dia seperti sedang mencari gambar yang pas untuk jodoh puzzle berikutnya. Tapi, tak juga nemu. Dia lakukan berulang-ulang sambil meneruskan senewennya dengan nada jengkel.

”Sebagai pendidik, kita harus membuat sistemnya menjadi mudah demi gampangnya peserta didik di masa depan. Contohnya ini.”

Tokoh kita mengambil berkas di mejanya.

”Ini adalah Hasil Penataan Ulang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan dan Kurikulum Sekolah Menegah Kejuruan yang sudah dibakukan. Nah, struktur penataan spektrum ini berdasar KI-KD, sementara materi ajarnya diletakkan dalam B1, B2, B3, dan aplikasinya sebagaimana yang tertera dalam P1, P2, sesuai dengan ancar-ancar C1. Semua itu supaya bisa diakses DUDA/DUDI.”

Tiba-tiba Tokoh Bercambuk berlari menuju keranjang sampah di sudut ruangan. Terdengar suaranya muntah. Tapi, tak setetes cairan pun keluar dari sana.

”Gila kalau orang mengira bahwa saya juga paham singkatan-singkatan itu. Dikira semua orang paham dengan singkatan-singkatan ini. Celakanya, meski tak ada yang mengerti, tetap saja singkatan-singkatan itu digunakan. Gila, dasar negeri singkatan. Sing-sing-bing-bing; singkat-singkat bikin bingung! Lalu, kenapa saya melakukannya juga? Haah! Memang saya tinggal di mana? Sudah sejak kecil orang tua saya selalu mengatakan kepada saya, mengaumlah di kandang harimau, mengembiklah di kandang kambing. Nah, itu!”

Tokoh Bercambuk makin bersemangat bermonolog.

”Mentang-mentang saya pimpinan di sini, memangnya itu otomatis membuat saya jadi penentu arah? Saya pun cuma sekrup. Mau apa saya? Akhirnya, saya pun berposisi membela jabatan saya. Apa peduli saya dengan masyarakat? Sekarang saya terpaksa mengatakan, jangan bilang ini ruwet. Mendidik bangsa memang tidak mudah. Jangan mempermudah. Itu akan menghasilkan generasi bangsa yang lembeng!”

Mendadak Tokoh Bercambuk belingsatan. Matanya jelalatan mencari sesuatu, kemudian berteriak ke suatu arah.

”Wooeeeeeee! Siapa mencuri angka-angka di siniiiii!? Kalian mengganggu permainan puzzle-ku tahuuu!? Anak-anak, nggak usah menyuruhku bereksperimen dengan pendidikan. Yang pasti-pasti saja deehh! Puzzle ini kuberi angka supaya semuanya jadi mudaaah! Woooeeeee! Lima ratus ribu sampai lima ratus ribu sepuluuuuh! Kalian suka menyusup ke sini, kan? Kalian yang sembunyikan angka-angka di sini yaaa? Wooeee! Di mana kalian lima ratus ribu sampai lima ratus ribu sepuluuuuh!? Nggak usah menampilkan nama. Namamu tak ada guna dan fungsi di negeri koprol ini!”

Tiba-tiba terdengar suara berkelontang dari ruang sebelah dan disusul suara pecah berantakan. Beruntun. Tokoh kita menengok. Bergegas mengambil cambuknya dari kapstok dan meletarkannya ke udara di sela berbicara. Persis gaya pawang harimau sirkus.

”Wooeeeiiii! Siapa menjatuhkan apaaaaaa!? Baru jadi penghuni baru saja sudah belajar menjatuhkan barang, bagaimana kalau jadi penghuni lama kalian? Mau menjatuhkan kekuasaan, ya? Woeee, angka berapa kamuuuuu? Aangkaaaa! Aku tidak tanya nama! Di sini tidak ada nama. Yang ada angka! Angka berapa kamuuuu?”

”Lima juta lima ratus lima puluh limaaa?”

Tokoh Bercambuk membuka sebuah berkas dengan cepat dan mencocokkan. Dia mengangguk-angguk dalam, seolah menemukan kecocokan antara berkas dan fakta.

”Bukankah itu kamu yang kemarin jadi otak demonstrasi yang mengaku pelajar SMP itu? Wuuuu… Apaa… Pelajar SMP kok bulu kakinya kayak genderuwo! Kamuu! Iyaa, kamuuu! Kamu yang mimpin tawuran pelajar kemarin bersama angka lima ratus lima puluh ribu tiga belas? Oh bukan? Apa? Oooo….ya, ya, ya. Kamu yang menyaru pimpinan BEM tapi gak tahu RUU KUHP itu ya? Yang getol membela buruh tapi nggak ngerti standar UMR itu? Halaahh, nurut saja kamu! Orang tuamu di sini lagi sibuk menentukan kurikulum kalian! Kami sibuk memperhitungkan segala sesuatu dalam konsep ini! Sementara kalian di sana malah bikin onar! Bisa tenang tidak!? Ini waktuku menyusun kurikulum! Bisa tenang tidaaak?”

Bahkan, suara gaduh dari ruang sebelah kian bertambah. Kini disertai suara derap ratusan pasang sepatu. Tokoh kita ini meletarkan cambuknya membelah udara. Letaran cambuk di udara dan derap ratusan pasang sepatu itu menjadi orkestrasi menarik, setidaknya seperti derap gegap pasukan dalam klip video The Wall-nya grup musik lawasan, Pink Floyd. Bukannya reda, tetapi justru suara kemelontang kembali terdengar, disusul suara runtuhan barang, entah apa pun itu, tetapi sangat riuh.

Tokoh Bercambuk memandang pintu ruang sebelah dengan pandangan yang sukar ditebak. Seperti sebuah sikap paham yang dingin atau entahlah.

”Baiklah, harimau sirkus. Binatang memang mesti diajari dengan cara binatang. Mending menghilangkan nyawa satu orang untuk melindungi masa depan jutaan orang. Tak akan ada yang menanyakan kamu, toh kamu cuma sebatang angka. Apa gunanya untuk industri, apalagi hidup ini.”

Tokoh kita mengambil pistol dari lacinya, mengokangnya, dan segera masuk ke ruang sebelah. Tak menunggu dua menit, terdengar suara, dor! Lalu, terciptalah damai. Bukan. Bukan damai. Tepatnya sunyi. Tokoh kita masuk kembali. Menyimpan pistol di laci mejanya dengan dingin, kemudian dia memencet tombol interphone yang menempel pada salah satu sisi dinding.

”Administratir!! Catat, tujuh juta lima ratus enam puluh satu ribu tidak pernah ada. Masukkan dalam sistem KNKT-DO-tewas karena penyakit sampar. Pengurangan angka ini penting untuk menghitung kembali jumlah jam yang ditentukan dalam kurikulum untuk mengajar. Satu guru mengajar lima puluh angka dengan satu guru mengajar lima belas angka sudah beda lagi. Dan ini memengaruhi sistem administrasi serta, saya tidak suka ini, membuat defisit! Bangsat! Bangsatlah kalian. Dasar angka-angka! Dikiranya tidak terkait pada data ekonomi dan inflasi!”

Meletarkan cambuknya sekali ke udara, melemparkan cambuk begitu saja, mencopot sebuah badge angka dari dadanya dan meletakkannya di sebuah meja.

”Saya kira hari-hari perubahan masih panjang. Apa peduli saya. Toh, sebentar lagi saya pensiun. Semua orang berhak menyelamatkan hidupnya sendiri. Ibarat bunglon, di kekuasaan mana bertengger, saya akan menjelma serupa. Hhmm, lelah saya. Dan puzzle education game ini lama-lama tidak menarik lagi. Terkadang saya menyesal, kenapa dulu saya tidak meneruskan usaha Rawon Setan saya. Sama-sama ngurusi angka, lebih jelas peruntungannya. Uh!”

Bandung-Kendal-Jogja, 2016–2019

Whani Darmawan

Adalah aktor dan penulis kelahiran Jogjakarta. Berkreasi sejak 1985 hingga kini. Tahun lalu menerbitkan buku lakon Luka-Luka Yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon yang juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Belum lama ini meraih Piala Citra kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik dalam film Kucumbu Tubuh Indahku.

Editor : Ilham Safutra

Putu Cangkir

Jawapos, 5 Januari 2020

PUKUL 4 sore dan penganan putu cangkir di depan rumah adalah janji yang selalu tepat waktu. Seperti suratan takdir yang tak pernah melenceng, pukul 4 adalah alamat penjual putu cangkir itu membuka warungnya. Sederhana saja, ketika warung putu cangkir di depan rumah sudah terbuka, berarti hari sudah pukul 4 sore. Dan lagi, aku selalu menjadi orang yang kurang kerjaan memastikan kapan penjual putu cangkir itu terlambat atau mungkin lebih cepat beberapa menit membuka warungnya dari angka 4 pada jarum jam.

Kenyataannya, memang tak pernah melenceng sekali pun. Atau mungkin saja pernah saat aku kebetulan memang benar-benar tak memperhatikan atau sedang tak ada di rumah. Juga alasan apa yang membuatku seolah-olah seperti agen intelijen terhadap kesetiaan mengamati sesuatu yang tak benar-benar bisa kupaparkan selain kesukaanku pada wangi khasnya –aroma gula merah yang baru diangkat dari kukusan berkolaborasi dengan isian parutan kelapa setengah matang di dalamnya– yang memenuhi rongga hidung.

Tentu saja, siapa pun akan menyesal jika tak singgah membeli sebiji atau dua biji. Bahkan, beberapa biji pun tidak akan sampai membuat jebol saku. Kebanyakan pelanggannya memang orang-orang yang baru pulang dari kerja. Pun sudah terbayangkan, surga apa lagi yang menandingi kenikmatan menyesap secangkir teh hangat dengan penganan putu cangkir dalam kondisi tubuh yang butuh istirahat sambil menyaksikan peralihan warna langit. Dan di sinilah aku –di balik jendela rumah– yang selalu setia pada waktu-waktu itu melihat kesibukan sepasang suami istri yang tak lagi muda melayani pelanggannya dengan senyum yang tak pernah pudar. Juga suara-suara besar yang mengiringi. Sepasang suami istri yang bersuara besar, demikian belakangan hari aku memberi mereka nama. Mereka mempunyai nama, nama yang sama dengan kebanyakan nama Bugis lain, tapi aku sudah telanjur menyukai julukan itu.

”Berapa?”

”Tiga?”

”Tiga ribu semuanya … terima kasih nah.”

Suara yang diperantarai dua jalur jalan, tapi masih sampai ke telinga. Suara yang terdengar selalu monolog saking besarnya. Dan itu akan membuatku tertawa sendiri, lebih ketika membayangkan bagaimana terganggunya orang-orang di samping warungnya. Sayangnya, yang tepat bersebelahan dengan warung itu adalah rumah Melati, sahabatku.

Melati pernah bercerita bahwa sepasang suami istri itu sebelumnya berasal dari daerah pesisir yang sudah menjadi rahasia umum orang-orang pesisir adalah orang-orang yang bersuara besar. Telah sekian tahun mereka mendiami warung itu. Seharusnya menjadi alasan mereka menurunkan volume suara beberapa desibel. Tapi sayangnya mereka masih setia, dan mungkin saja sudah tak bisa lagi berubah, entahlah …

”Apakah kamu tidak terganggu?” Pernah kutanyakan itu pada suatu hari yang telah lewat. Kepada Melati tentu saja.

”Justru suara-suara itu yang kurindukan ketika aku pergi jauh dari rumah.” Dia membalas dengan lesung pipi yang seperti tak menyisakan tempat lagi untuk memicingkan mata. Benar saja, kepergiannya ke Beijing karena diboyong suami yang sedang melanjutkan pendidikan di sana memberi pembuktian yang tak bisa lagi kupertanyakan. Setiap kali Melati menghubungiku, selalu saja putu cangkir itu berada pada urutan keempat pertanyaannya.

Nomor urut satu, menanyakan kabar orang tuanya yang mungkin saja sedetik lalu baru selesai ditelepon. Dua, tentang keluarga kecilku –janjinya pada Dea untuk membawakan boneka panda pada musim mudik nanti. Ketiga, Rifky –lelaki di samping rumah yang pernah menjadi cinta pertama Melati pada masa lalu. Dan yang keempat, tentu saja tentang putu cangkir itu. Apakah masih dijual? Dan sepasang suami istri itu apakah sehat-sehat saja?

Pukul 4 sore dan penganan putu cangkir di depan rumah adalah alamat bahwa sebentar lagi aku harus segera ke tempat les. Menjemput anak-anakku.

***

Walaupun tak pernah benar-benar melihat bagaimana kesibukan sepasang suami istri bersuara besar itu dari balik lemari kaca depan warungnya, aku bisa membayangkan tangan-tangan yang tak lagi kekar itu bekerja dengan telaten. Mengayak olahan beras ketan bercampur gula merah lantas mencetaknya di dalam cangkir yang menjadi alasan kenapa kemudian dinamakan putu cangkir. Juga kesabaran mereka mempertahankan aroma khas yang konon tergantung pada durasi pengukusan dan suhu api sehingga setiap pelanggan selalu bisa membeli dalam kondisi yang sedang hangat-hangatnya.

Membeli putu cangkir adalah pelajaran tentang kesetiaan. Berdiri lama menunggu sampai penganan itu benar-benar matang dari kukusannya adalah perihal siapa yang setia dan paling setia. Kenyataannya, beberapa orang memilih mundur melihat antrean panjang yang ketika terpotong akan membentuk ekor yang lebih panjang lagi. Tak ada bukti sepasang suami istri yang bersuara besar itu pernah mendapatkan teori marketing yang dianut Kotler dan Armstrong. Bahkan, lulus sekolah dasar (SD) pun tak bisa kujamin. Akan tetapi, terbukti sudah, pemasaran sebagaimana dianut teori tersebut –tidak sekadar menyampaikan produk dari tangan penjual ke pembeli, tapi memperhatikan apakah kebutuhan dan keinginan pembeli terpenuhi, apakah pembeli puas terhadap produk tersebut, dan apakah pembeli akan melakukan pembelian ulang serta menjadi loyal terhadap produk itu– telah menerapkan pengaplikasian dengan sebenar-benarnya. Teori yang pernah kudapatkan di bangku kuliah sayangnya harus terpendam begitu saja. Pernikahan yang telah kujalani tujuh tahun membuatku mengambil keputusan yang tidak akan pernah kusesali. Yakni menjadi ibu sepanjang waktunya anak-anakku di rumah.

Maka di sinilah aku –di balik jendela rumah– menyelesaikan pemandangan rutin itu sejak memutuskan untuk tinggal di rumah. Jeda sejenak ketika harus menjemput anak-anak. Dan kembali berkumpul di tempat yang sama begitu semua kewajiban telah tertunaikan, hingga magrib. Selalunya begitu. Entah…. Anak-anak mungkin tak akan pernah tahu bahwa putu cangkir di depan rumah adalah perhatian ibunya selama ini. Demikian pula Ammar, suamiku.

Tentang Ammar, dia adalah lelaki yang baik. Kuakui itu sejak dahulu kala. Tak pernah ada konflik yang benar-benar rumit sepanjang pernikahan kami, selain satu hal yang nantinya akan kupaparkan belakangan, jika memungkinkan. Perjodohan yang konon disebut-sebut lebih melanggengkan sebuah pernikahan telah kubuktikan bersamanya. Juga, dia adalah lelaki penurut begitu aku mengusulkan untuk tetap tinggal di rumah panggung saoraja –arsitektur rumah adat– peninggalan orang tuaku. Rumah panggung dengan 40 tiang yang seluruhnya terbuat dari kayu bayam –kayu terbaik yang tahan lama dan kuat terhadap serangan rayap. Pun dia memilih mengalah untuk tak membeli rumah di tempat lain ketika kembali kujelaskan bahwa rumah ini akan kami tinggali selamanya.

Termasuk alasanku untuk tetap mengenang rumah ini sebagai rumah kenangan. Dan mempertahankan kekhasan rumah Bugis yang sudah mulai hilang ditelan modernisasi. Kami tak pernah benar-benar berselisih paham kecuali saat dia memintaku melepaskan karir sebagai pegawai salah satu perusahaan swasta dulu. Pun pada akhirnya aku harus tahu diri juga ketika Dea lahir dalam usia kandungan tujuh bulan, dan terpanggil untuk full time memberi asupan gizi demi pertumbuhannya. Lagi, keputusan yang tak akan pernah kusesali.

Pukul 4 sore dan penganan putu cangkir di depan rumah juga alamat untuk segera siap-siap menyambut pelengkap separo agamaku. Ammar.

***

Sore itu, sore yang ke 7.207 sejak suami istri itu mendirikan warung putu cangkir di depan rumah. Aku begitu detail mengingat, tentu saja. Warung yang juga merangkap rumah, dengan bentuk yang tak pernah berubah selain atapnya yang pernah diganti dari daun rumbia menjadi seng beberapa waktu lalu. Hitungan harinya begitu akurat tercatat di kepala. Sebaliknya, tak ada ulang tahun atau hari kepergian orang tuaku yang benar-benar tepat. Aku hanya mengingat hari kepergian emma adalah kemarin dan etta besoknya. Tapi sepiring putu cangkir yang diantar cucu sepasang suami istri bersuara besar itu memorak-porandakan perasaanku seketika itu juga. Kiriman dari kakek-neneknya. Begitu mulut berbibir kecil itu menjelaskan. Gratis, tambahnya lagi.

Aku berdiri mematung, bergantian mengamati anak perempuan yang seusia Dea itu, dan putu cangkir yang dari aromanya sudah jelas baru beberapa menit terangkat dari kukusan.

”Puang…” Anak itu mengentakkanku dari lamunan. Segera kupindahkan putu cangkir itu ke piring yang kosong dan mengisinya kembali dengan camilan dari kulkas. Anak perempuan itu tersenyum lebar dan berlalu. Mungkin saja, camilan beraneka warna itu jauh lebih mengalihkan perhatiannya dibanding wajahku yang seketika itu terasa pias. Pintu segera kututup, membiarkan putu cangkir itu menguap dingin begitu saja. Tujuanku cuma satu, kembali mengamati aktivitas sepasang suami istri itu dari balik jendela rumah. Dan kemudian menghubungi Melati.

”Mereka mengirimiku putu cangkir.” Bahkan nada suaraku tidak mampu lagi menyembunyikan getarannya begitu tersambung dengan Melati.

”Berarti itu sudah kali kedua sejak kepindahannya kira-kira 20 tahun yang lalu.” Suara Melati pun terdengar bergetar. Hening. Dulu, di awal berdirinya, sepasang suami istri itu memang pernah mengirimkan putu cangkir untukku.

”Aku harus bagaimana, Mel?”

”Kamu harus bagaimana?” Tak seharusnya Melati balik bertanya seperti itu.

”Aku tak tahu.”

”Apakah kamu sudah memakannya? Mungkin mereka berharap kau mencoba putu cangkirnya.”

”Tapi kamu tahu sendiri, sejak warung itu berdiri, aku tak pernah sekali pun mencicipi putu cangkir itu.”

”Cicipilah … putu cangkir mereka adalah putu cangkir terbaik yang pernah kutemukan. Kau harus memakannya, sekali ini saja.”

Ada genangan panas yang tertahan di sana, di pelupuk mataku. Segera kutepis dengan bergegas keluar rumah. Pukul 4 sore dan penganan putu cangkir adalah alamat untuk menjemput anak-anak di tempat les dan Ammar sebentar lagi akan pulang dari kantor. Maka pilihanku, membiarkan putu cangkir itu dingin dan tak tersentuh sama sekali.

Hingga malam, anak-anak maupun Ammar bergantian menanyakan dari mana asal putu cangkir di atas meja.

”Bukannya Ibu tak menyukai putu cangkir?”

”Memangnya Ibu beli putu cangkir?”

”Ibu membeli putu cangkir itu dari mana?”

Aku menggeleng pelan.

”Kiriman putu cangkir dari depan rumah.”

Dea dan adiknya berpandangan, Ammar juga. Aku tahu. Mereka pun penasaran seperti apa rasa putu cangkir yang konon enak itu. Tapi mereka pergi satu-satu, menghormatiku, seorang perempuan yang tak pernah sekali pun menikmati putu cangkir warung depan rumahnya.

Besoknya, pukul 4 sore dan penganan putu cangkir senyap. Tak ada pelanggan. Tak ada aroma khas itu. Aku dengan setengah berlari menuruni tangga. Menyeberangi jalan. Dan untuk kali pertama menginjakkan kaki di tempat itu.

”Daeng Ngenre dan Daeng Tengge ke mana?” tanyaku kepada seorang lelaki yang berdiri di sana.

”Mereka sudah pindah. Ke Barru. Apakah kamu tidak mendapatkan titipan kue putu cangkir darinya kemarin? Itu adalah salam perpisahan yang juga dibagikan kepada para pelanggannya.”

Lama aku tepekur. Aku kemudian pulang dan menghubungi Melati.

”Mel … mereka pindah.”

”Apakah kamu tidak punya firasat sebelumnya?”

”Sama sekali tidak ada …”

”Mungkin karena mereka sudah lelah menunggumu.”

Kini air mataku mengalir dengan sebenar-benarnya. Ada sesak yang menyeruak. Segera kuambil putu cangkir yang sengaja kusimpan di kulkas. Memakannya dengan air mata. Aku tahu, kenapa rasanya masih tetap enak meskipun sudah dingin dan tak lagi beraroma khas, karena mereka membuatnya dengan sepenuh cinta. Apakah mereka tidak tahu, salah satu alasanku mempertahankan rumah ini juga karena ingin selalu menyaksikan aktivitas mereka dan menatap dari kejauhan. Kini mereka telah pergi, membawa perasaanku.

***

Perempuan di rumah panggung itu selalu jelas terlihat dari balik kaca jendela rumahnya. Apakah dia tidak menyadari bahwa aku bisa melihatnya dari posisiku berada? Meskipun itu hanya bayang-bayang. Aku tahu dia selalu berada di sana. Mengamatiku, mengamati kami. Kadang ketika hatiku sudah tak mampu diajak kompromi, ingin sekali rasanya berlari ke sana, menemuinya, dan menjelaskan berbagai hal. Tapi suamiku selalu mencegah. Pun alasanku untuk memilih pindah ke depan rumahnya 20 tahun yang lalu, karena ingin selalu melihatnya.

Dia anakku. Satu-satunya anak perempuanku. Anak yang diadopsi bangsawan di daerah ini saat usianya masih 10 tahun. Telah lama kami saling mengetahui, seperti janji yang tidak pernah terikrar, kami memilih saling menutupi. Dia masih butuh waktu untuk menerima segalanya, mungkin. Dan aku yang lebih baik memilih pergi, membiarkannya hidup tanpa bayang-bayang orang tua kandungnya. Pada akhirnya dia akan mencariku, tentu saja, karena rindu. Entah keyakinan dari mana yang membuatku seteguh itu. Juga, satu hal yang kurahasiakan dari siapa pun, dia anakku bukan bersama suamiku yang sekarang, melainkan dari lelaki lain, ayah angkatnya sendiri. (*)

Catatan

Emma: Ibu

Etta: Ayah

Puang: Panggilan untuk orang yang dihormati (bangsawan) dalam masyarakat Bugis

Chaery Ma, Penikmat teh hangat yang menyukai segala hal tentang pagi dan suka naik becak. Mulai menulis saat duduk di bangku SD. Tulisannya berjudul Rumah Hujan masuk dalam daftar cerita anak terbaik Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2016. Punya mimpi keliling dunia dan selalu meyakini mimpi itu akan jadi kenyataan.

Editor : Ilham Safutra

Penjahit Lisabon

Cerpen : Yetti AKA

Jawapos Minggu, 29 Desember 2019

APRIL dua puluh tahun lalu, Lisabon sampai ke kawasan permukiman orang miskin yang terletak di bawah tempat pemakaman umum dengan aroma kematian menggantung di dahan-dahan kemboja atau kelepak sayap burung hantu, dan menempati petak kecil paling ujung sebuah bedeng kumuh. Barang bawaannya bisa dihitung dengan jari. Satu mesin jahit Singer. Sepasang sepatu. Dua setel pakaian dan dalaman. Sisir. Bedak tabur. Peralatan mandi. Selebihnya, ia membeli barang bekas yang disodorkan para penyewa lain atau membeli obralan di pasar hingga ia nyaris memiliki semuanya sekarang ini. Membuat ruangannya menjadi makin sempit dan ia sering mengeluh kegerahan pada malam hari.

Lisabon tidak menganggap dirinya cantik. Sebuah bekas luka melintang di keningnya, mirip sebuah akar hidup. Lisabon mengaku sengaja melukai dirinya sendiri dalam permainan ”siapa paling berani” antara ia dan sepupunya yang baru datang dari kota, yang meminta ia melakukan ini dan itu; jungkir balik di lantai, makan batang korek api yang sedang menyala, menangkap seekor ular dan memotong-motongnya, dan terakhir menantang Lisabon untuk menggoreskan mata pisau ke keningnya sendiri dan membiarkan darah mengalir turun, membasahi mata, hidung, mulut, dan nyaris seluruh wajah. Dan sepupu Lisabon itu tertawa-tawa menontonnya. Setelah kembali ke kota, sepupunya itu sakit keras dan meninggal dunia di hari kelima di tempat tidur ruang rumah sakit. Kematiannya itu menjadi alasan Lisabon untuk tidak mendendam atau menyimpan marah. Ia menganggap sepupunya itu sengaja ingin meninggalkan sebuah kenangan tidak terlupakan pada dirinya. Sejak berpikir begitu, Lisabon jadi terobsesi pada kota, pada jalan-jalan yang mungkin pernah dilewati sepupunya, pada tiang lampu tempat sepupunya pernah berhenti di bawahnya dan mendongakkan kepala untuk melihat serombongan laron, pada taman dengan bangku dan pohon-pohon rindang –semua yang pernah diceritakan sepupunya dengan penuh kebanggaan kepada Lisabon.

Satu gigi seri Lisabon patah –menurutnya itu terjadi saat ia berusia lima belas tahun, tak sengaja jatuh dari pohon mangga dan mulutnya membentur batu yang ia gunakan sebagai tempat pijakan saat akan memanjat. Kulit tubuhnya cokelat gelap. Perawakannya pendek dan gemuk. Dan itu membuatnya kecewa karena ia mulai memuja model iklan kecantikan di televisi.

Satu-satunya yang ia banggakan adalah sepasang mata besarnya. Mata yang jernih dan berkilat. Mata yang membuat orang betah memandangnya berlama-lama seolah itu adalah sebuah telaga yang airnya bisa diminum dan membebaskan dari rasa haus. Kadang, Lisabon sengaja membiarkan orang menikmati kedalaman mata itu lama-lama, membiarkan mereka mereguk airnya banyak-banyak. Sebab, dengan cara itulah ia bisa bermurah hati. Selain itu, Lisabon seorang yang gemar tertawa. Di kawasan yang lekat dengan kemelaratan itu, tawa seseorang lebih berharga daripada kecantikan. Dengan cepat, Lisabon menjadi kesukaan semua orang. Mereka tertawa bersama. Melupakan sakit menahun yang menggerogoti tubuh atau tumpukan utang di warung atau tagihan pemilik bedeng setiap awal bulan atau caci maki tukang kredit karena tunggakan yang tak kunjung dilunasi. Namun, tingkah Lisabon itu nyaris membuatnya dianggap sebagai pelacur dan beberapa perempuan memusuhinya serta menyebarkan rumor miring tentangnya. Untungnya, dari kecil Lisabon sudah banyak menghadapi yang lebih berat dari sekadar itu.

Tetangga Lisabon pada umumnya buruh lepas di pabrik pembuatan kue milik Bos Besar –mereka menyebutnya begitu karena lelaki itu hampir menjadi pemilik segalanya di tempat itu, termasuk bedeng yang ditempati orang-orang di sana. Beberapa tetangga bedengnya membuat usaha dagang keliling. Jual mi ayam. Bubur ayam. Jajanan pasar. Mainan anak-anak. Lisabon sendiri karena punya mesin jahit peninggalan ibunya yang susah payah ia bawa ke kota mengumumkan dirinya sebagai Penjahit Lisabon. Nama itu ia tulis di atas papan dengan tinta hitam tebal dan digantung di depan pintu. Sejak itu orang-orang berdatangan untuk menyerahkan pakaian-pakaian yang perlu dipermak atau kain untuk dibuat blus, rok, celana, dan lainnya. Dan Lisabon mencatat semua itu di buku khusus, termasuk tanggal pengambilan. Lisabon tidak pernah menetapkan harga untuk tiap pakaian yang dipermak dan memberi harga murah saja untuk jasa jahitnya dan itu membuat orang-orang menyukainya, membuat meja kerjanya tak pernah kosong dan ia selalu sibuk setiap hari –sesuatu yang memang diimpikannya; tinggal di sebuah kota yang pernah ditempati sepupunya, mengembangkan satu-satunya kemampuan yang ia miliki. Rasanya, tak ada lagi yang ia inginkan selain itu sejak ibunya mati ditabrak truk pengangkut pasir dan meninggalkannya sendirian. Hanya, setelah satu tahun ia di kota dan menjadi seorang penjahit, hidupnya tak banyak berubah. Ia masih seperti Lisabon yang pertama kali datang menginjakkan kaki di permukiman itu. Ia masih tak punya apa-apa, selain barang-barang yang nyaris tak ada harganya. Sementara mimpinya telah berkembang jauh. Ia tak lagi sekadar ingin tinggal di kota demi mencari jejak-jejak sepupunya. Itu sudah lama ia lupakan. Lisabon punya harapan suatu hari bisa pulang ke kampungnya dan membawa cerita manis tentang hidupnya sendiri.

***

Lisabon tidak pernah menyangka, suatu hari, seorang tukang cuci yang bekerja di sebuah penatu cukup besar di kota ini berkata kepadanya, menikahlah denganku, hiduplah bersamaku. Tukang cuci itu berperawakan kecil. Kulitnya terlalu pucat. Dua giginya rapuh karena kebanyakan menggigit pangkal rokok. Di permukiman itu, ada beberapa lelaki yang senang menggoda Lisabon, tapi tak ada yang benar-benar menyukainya. Maka, begitu mendengar tawaran dari lelaki itu, Lisabon tak menolak. Mereka menikah sebulan kemudian, tanpa perayaan apa-apa, selain makan malam seadanya di bedeng Lisabon dan dihadiri tetangga kanan dan kirinya.

Pada saat itu Lisabon merasa sudah makin dekat dengan mimpinya. Lelaki itu sama miskinnya dengan dirinya, tapi mereka bisa bekerja lebih keras. Mula-mula mereka merencanakan menyewa sebuah rumah –benar-benar sebuah rumah, lengkap dengan perabot baru. Namun, Lisabon keburu hamil sebelum mereka mengumpulkan cukup uang dan memaksa mereka tetap tinggal di kamar bedeng di permukiman orang-orang miskin itu sampai anak mereka lahir. Bahkan, mereka tetap di sana hingga hari ini, saat anak lelaki mereka sudah berusia delapan belas tahun dan baru saja mengumumkan bahwa ia diterima bekerja sebagai tukang taman.

”Kita pindah dari tempat ini, Mama,” kata anaknya bersemangat. ”Kita akan punya rumah sendiri.”

Seorang tukang taman dari kantor dinas pemerintah merupakan pekerjaan paling bergengsi di mata penghuni bedeng yang sebagian besar tidak bersekolah. Maka, kabar itu segera menyebar sebagai berita gembira. Semua bersukacita untuk keberuntungan keluarga Lisabon. Juga sedikit iri karena keluarga Lisabon akan pindah dan punya rumah sendiri nantinya.

Bos Besar tentu telah mendengar semua itu. Tidak ada berita penting di sekitar bedeng yang luput darinya dan kabar anak Lisabon diterima bekerja sebagai tukang taman itu merupakan kabar buruk baginya. Bos Besar mulai khawatir dengan kesungguhan keluarga Lisabon yang mau pindah dari bedengnya. Selama ini Bos Besar hidup dari uang sewa dan usaha yang melibatkan para penghuni bedengnya. Ia seperti lintah yang mengisap dengan rakus. Sampai-sampai ia begitu gemuk dibuatnya, sementara lelaki-lelaki penghuni bedeng nyaris memiliki badan setipis tripleks. Jika Lisabon sampai lepas dari cengkeramannya, ada kemungkinan suatu hari nanti penghuni lain melakukan hal sama. Mereka akan memiliki semangat untuk punya rumah sendiri atau paling tidak pindah ke rumah kontrakan yang layak.

”Memangnya kalian punya saudara di kota ini?” tanya Bos Besar dalam kunjungannya ke bedeng Lisabon. ”Jika pindah dari sini dan terjadi apa-apa, siapa yang akan menolong kalian?” Bos Besar mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

Lisabon hampir saja menyebut keluarga sepupunya yang tak pernah ia kunjungi. Bukan karena tidak ingin berkunjung, melainkan ia tidak pernah tahu di mana tepatnya keluarga sepupunya itu berada. Kota ini cukup luas di mata Lisabon yang lahir dan tumbuh di desa. Sementara ia sendiri tidak ke mana-mana selain di bedengnya atau sesekali menyusuri jalan besar dan pergi ke pasar atau taman.

”Saya tidak bisa menolong jika kalian sampai pindah. Saya tidak punya tanggung jawab lagi untuk melakukan itu,” lanjut Bos Besar setengah mengancam.

Suami Lisabon, si tukang cuci yang akhir-akhir ini terkena batuk parah, mengangguk-angguk tanpa daya. Bos Besar memang menjadi penolong semua penghuni bedeng selama ini. Beberapa kali keluarga Lisabon meminjam uang kepadanya. Meski pinjaman itu berbunga, paling tidak mereka tak pernah pulang dengan tangan kosong saat meminta bantuan kepada Bos Besar. Sebagai orang miskin, mereka tahu betul betapa tidak mudah mendapatkan pinjaman uang di dunia ini.

”Tetaplah di sini,” kata Bos Besar. ”Jangan berpikir mau pindah. Nanti malah mengacaukan semuanya.”

Lisabon hampir saja mau bicara, tapi suaminya yang susah payah menahan batuk menghentikannya. Mereka telah menyerah begitu saja pada kehendak Bos Besar itu.

Mereka menjalani hidup seperti biasa. Suami dan anaknya sejak pukul enam pagi sudah pergi ke tempat kerja. Lisabon yang kehilangan semangat terpaku di tempat duduknya yang menghadap ke luar, ke gang kecil tempat keluar masuk penghuni bedeng yang terletak di belakang. Gerobak bubur ayam lewat di depannya, disusul gerobak mainan anak-anak. Gerobak mi ayam dan bakso akan keluar pukul sepuluh nanti. Setelah itu, gantian motor para pengecer kue yang berdatangan. Mereka yang akan mengangkut kue-kue dari pabrik milik Bos Besar dan mengedarkannya ke warung-warung. Semakin hari rumah milik Bos Besar semakin besar dan tampak mewah dari hasil usaha kue yang memeras keringat para pekerjanya itu. Belum lagi uang setoran macam-macam, ditambah bunga meminjamkan uang. Lisabon mendengus saat terbayang wajah Bos Besar dan keluarganya yang makmur itu.

Buru-buru Lisabon membangkitkan semangatnya lagi. Ia harus tetap menjadi Lisabon yang senang tertawa dan membuat gembira orang-orang yang melihatnya. Dengan setengah berdendang, Lisabon mulai menjahit. Namun, mendadak ia mendengar sebuah teriakan dari dalam rumah Bos Besar. Suara istri Bos Besar yang penyakitan itu tentunya. Lisabon berdiri dan melongokkan kepalanya ke luar pintu. Begitu pula dengan penghuni bedeng lainnya. Entah siapa yang pertama kali mengabarkan, mereka akhirnya tahu bahwa Bos Besar jatuh di kamar mandi dan tidak sadarkan diri. (*)

Rumah Kinoli, 2019

YETTI A.KA, Tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Novel terbarunya Pirgi dan Misota (2019).

Editor : Ilham Safutra

Bapak

Cerpen : Felix K. Nesi

Jawapos, 22 Desember 2019

Saya sedang menyetrika ketika kepala Bapak nongol dari balik pintu.

”Di mana kamu ikat sapi?” ia bertanya.

”Di pohon ampupu. Dekat kandang babi,” saya menjawab.

”Tidak ada.”

Matanya seperti datang dari masa lalu. Masa ketika saya yakin bahwa saya bisa bermain bola, dan ia bersikeras bahwa saya tidak mampu menjadi atlet.

Saya melepas setrika dan tergopoh ke belakang. Hujan baru saja reda. Malam jatuh dan hari mulai menjadi dingin. Cahaya kekuningan dari bola lampu yang tergantung di depan uembubû1 terhalang kandang babi. Saya mengeluarkan telepon genggam, menyalakan lampunya, mengitari kandang babi dan menuju pohon ampupu. Pohon itu berdiri, sepi sendiri, menatap saya. Tidak ada sapi. Katak berketur dari segala arah.

Bapak mengikuti saya dari belakang. Ranting lamtoro sisa makanan sapi menggerisik beradu dengan kakinya.

”Tadi saya ikat di sini,” saya berkata.

Ia mendekati pohon ampupu. Cahaya dari telepon genggam membuat ubannya menjadi perak. Ia berjongkok, memperhatikan pokok pohon ampupu, lalu menengadah dan menatap saya.

Matanya masih datang dari masa lalu. Mata yang menatap saat saya terpental tiga meter usai beradu kaki dengan seseorang berbadan kekar di tengah lapangan. Apa kata Bapak, kamu terlalu lemah untuk sepak bola.

Saya berjalan ke arah bahan2 dengan lampu dari telepon genggam yang hanya samar-samar. Sedikit membungkuk, saya melihat jejak sapi ada di mana-mana. Beberapa telah samar terhapus hujan. Saya tidak bisa membedakan usia jejak-jejak itu –tidak seperti Bapak. Saya tidak pernah bisa menjadi Bapak.

Sore tadi saya disergap hujan ketika menarik sapi dari sabana. Sapi betina dan anaknya yang lincah, nakal sekali. Dulu Bapak punya banyak sapi. Berkurang banyak sesudah Ibu meninggal. Saya basah kuyup. Dua sapi itu berdiri di semak dan tidak ingin bergerak. Yang kecil melompat-lompat, menangkap pucuk dedaunan gamal dengan lidahnya. Dengan usaha keras saya berhasil menarik mereka ke belakang rumah. Saya ikat terburu-buru di pohon ampupu dan berlari ke dalam rumah. Saya mandi dan menyetrika baju baru.

”Apa yang kamu lakukan?” Bapak bertanya. Setengah berteriak. ”Kamu tidak bisa menemukan sapi hanya dengan bengong di dekat bahan.”

Ia selalu tahu bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya tidak bisa bermain bola. Saya tidak bisa memanjat pohon tuak. Saya tidak bisa menunggang kuda. Saya tidak bisa mencari sapi.

”Romi! Sudah habis kau setrika pakaian?”

Suara Agatha mengembalikan saya dari masa lalu. Saya menoleh. Perempuan itu berdiri di belakang uembubû. Pelita di tangan kanan. Nampan di tangan kiri. Uap ubi jalar yang mengepul dari nampan menari-nari menembus cahaya lampu senter.

Saya teringat kepada sesuatu. Spontan saya berlari ke dalam rumah. Bau hangus menusuk hidung sejak saya menapaki tangga licin di pintu belakang. Buru-buru saya masuk ke kamar. Di depan saya, baju putih yang rupawan itu telah menyatu dengan selimut yang saya pakai sebagai alas setrika. Lubang sebesar setrika menganga di punggungnya. Saya merasa ingin kencing.

**

Bapak menikahi Agatha dua tahun yang lalu. Belisnya tujuh puluh lima juta. Ia punya darah Flores dan pernah kuliah di Surabaya. Kombinasi yang bagus untuk harga belis.

Mereka mengadakan pesta yang meriah. Dansa sampai matahari naik. Kue pengantin diganti piramida sirih-pinang. Setiap undangan mendapatkan gantungan kunci sebagai hadiah, bertulisan nama mereka. Romantis sekali.

Saya terlalu sedih untuk pulang kampung dan mengikuti pesta meriah itu. Ibu baru saja meninggal. Belum juga satu tahun. Saya bertahan saja di Kupang.

”Dosen tidak memberi izin,” saya memberi alasan.

”Apakah kamu tidak bisa bolos? Titip absen ke temanmu.”

”Jadwal kuliah sangat padat. Yang bolos tidak bisa mengikuti ujian semester.”

Tetapi saya tidak masuk kuliah. Dua hari di kos saja. Tidur dan menangis untuk Ibu.

Kematian Ibu, sebenarnya, bukan hal yang buruk-buruk amat. Bukan sesuatu yang mendadak. Stroke telah lama membuat sebelah badannya berhenti berfungsi. Ia berjalan dengan tongkat, seperti mayat hidup. Kadang tidak bisa melakukan apa-apa. Perlu disuapi. Perlu diceboki. Setengah orang yang melihatnya berharap ia segera mati. Agar penderitaannya berakhir.

Bapak meniduri Agatha sebelum Ibu meninggal. Saya berharap tidak ada orang yang tahu itu. Tetapi saya tahu. Tentu banyak orang yang tahu juga. Di kampung sekecil ini, kabar menyebar lebih cepat daripada wabah.

Agatha adalah pendoa. Kali pertama ia ke rumah ini adalah untuk mendoakan Ibu. Bapak yang membawanya. Ia berdoa sangat panjang sambil mengangkat-angkat tangannya ke langit-langit rumah. Ia mencelupkan rosario ke dalam segelas air dan meminta Ibu meminumnya.

Tak lama saya diberi tahu bahwa Ibu telah dipindahkan ke rumah sakit Kefamnanu. Di rumah, Ibu jarang mendapatkan perawatan. Bapak sibuk. Para ponakan yang datang merawat kebanyakan menjadi bosan dan pulang diam-diam, tidak ingin terganggu saat bermain gawai. Saya ingin berhenti kuliah dan merawat Ibu. Tetapi Ibu marah.

”Ibu orang bodoh. Hanya tamat SD. Kamu harus menjadi sarjana. Agar tidak dibodohi.”

Suatu hari Jumat, saya mencegat bus Sinar Gemilang dan pulang kampung. Saya rindu Ibu. Enam jam perjalanan, dengan kondektur yang suka memaki dan penumpang yang muntah-muntah, sangat melelahkan. Saya tiba saat hari mulai malam. Saya singgah di pasar, membeli sayur dan buah-buahan, dan menumpang ojek ke rumah. Saya akan memasak untuk Ibu.

Rumah terkunci. Tetapi sepeda motor Bapak ada di situ.

Sesudah saya memanggil berapa lama, Bapak dan Agatha membuka pintu. Saya tidak berharap ada Agatha. Tetapi ia ada. Ia masih muda dan cantik. Mungkin hanya lima tahun lebih tua dari saya.

Bapak bilang mereka baru saja pulang dari rumah sakit. Suaranya sedikit gemetar. Ia tahu bahwa saya tahu bahwa

ia berbohong. Tetapi ia tidak berhenti berbicara, berharap di suatu titik menemukan alasan yang membuat saya percaya.

”Kami hanya singgah sebentar untuk mengambil beberapa barang. Bapak akan mengantar Agatha pulang. Kenapa tidak telepon dahulu? Kan Bapak bisa menjemputmu di terminal.”

**

”Apakah kau punya baju lain?” Agatha bertanya. Saya baru saja berteriak histeris karena baju saya hangus. Dan ia datang. Berdiri di pintu kamar. Melongok.

Saya ingin menangis. Baju hangus itu saya beli dengan uang dari Tanta Claudia. Rumahnya di Penfui, istri seorang dosen. Saya membantunya membuat kue makao. Ia menjual kue untuk dosen dan anak kos di sekitar Jalan San Juan. Sebelum saya pulang kampung, ia memberi uang dua ratus ribu. Saya bilang tidak usah. Saya selalu senang berada di dapur. Ia bilang ambil saja. Kamu perlu sesuatu untuk Hari Natal, katanya. Saya pergi ke Pasar Kupang, saya beli kemeja putih. Panjang lengannya. Akan saya pakai di Malam Natal. Dengan sarung tenun. Selendang. Mungkin juga ikat kepala. Seperti laki-laki pada umumnya.

Sebelum saya menjawab Agatha, bunyi gelas berderak-derak di rak piring.

”Uuu…” Bapak memanggil, seperti orang Timor memanggil. ”Ubi ini bikin saya tersedak. Apakah ada kopi untuk saya?”

Agatha berlalu dari pintu, menuju ruang makan.

”Anak itu membuat sapi terlepas,” Bapak berbisik dalam bahasa Metô3. Ia harus belajar cara berbisik. Saya masih bisa mendengarnya. ”Saya akan keluar dan mulai mencari jejak. Sebelum sapi-sapi berjalan jauh.”

”Ini Malam Natal. Kamu bisa mencari besok,” Agatha menjawab.

”Besok pasti kau bilang: Ini Hari Natal! Jangan cari sapi. Ayo ke gereja!”

”Sapi tidak pergi jauh. Ada pagar kampung. Malam Natal hanya ada setahun sekali.”

Saya mendengar Bapak menarik napas panjang.

”Anak tidak berguna. Seperti perempuan saja. Disuruh masukkan sapi saja tidak bisa.”

”Husshh!”

Hening sesaat. Saya mendengar suara kecupan.

**

”Apakah Agatha tadi ke sini?”

Saya bertanya tanpa menatap Ibu.

Saya pisahkan paprika dari kotpese4, dan menyuapi Ibu.

”Nona Agatha? Yang berdoa seperti orang Protestan itu?” Ibu bertanya sesudah menelan makanannya.

Saya mengangguk.

”Sudah lama kami tidak bertemu. Apakah kamu bertemu?” Ibu bertanya.

Saya menggeleng. Wajah Agathadi beranda ketika bertemu dengan saya beberapa saat yang lalu tiba-tiba terbayang. Tahi lalat di dagu, gincu setengah terhapus, dan rambut ikal yang diikat dengan terburu-buru.

Saya membuang muka, mencoba menyembunyikan bayangan Agatha dari hadapan Ibu.

”Apa yang ingin kamu katakan?” Ibu bertanya dalam bahasa Metô.

Kaha, Aina. Tidak, Mama.

Ibu terdiam. Lama.

”Baik-baiklah kepada Bapak. Jangan membencinya.”

Ibu tahu sesuatu. Saya pegang tangannya. Saya kecup. Saat ia meninggal, saya tidak tahu harus membenci siapa.

**

”Kau berkelahi seperti bencong!”

Tomi Faifui baru saja meninju saya dengan keras. Teman-temannya tertawa. Pacarnya sempat menegur agar ia berhenti memukul, tetapi akhirnya ikut tertawa juga. Menikmati betapa jago pacarnya berkelahi.

”Lapor sana sama teman-temanmu. Semua anak Kos Pelangi. Kalau berani, kita berkelahi.”

Wendelinus Hutu berkata sambil melempari kepala saya dengan botol air mineral.

Teman-temannya tertawa lebih keras.

”Kos Pelangi itu isinya bencong semua! Termasuk Bapak Kos juga bencong!”

Badan anak lain yang berbicara itu kecil saja. Tetapi mulutnya seperti pisau. Saya merasa jijik jika harus menuliskan namanya di sini.

Tadi, saat Tomi mulai memukul, saya telah mencoba untuk melawan. Saya tinju beberapa kali. Dengan kepalan tangan dan jurus yang Bapak ajarkan saat saya kecil.

Tunduk, pukul. Tunduk, pukul lagi. Pukul kuat.

Saya menunduk dan memukul. Tetapi hanya dua kali mengenai Tomi.

Tomi bergerak sangat cepat. Kepalan tangannya seperti batu. Kakinya datang tanpa saya sadari. Kini saya merasa isi perut saya berpindah ke tenggorokan, dan rahang saya tidak bisa mengunyah lagi. Seorang lain yang bukan Tomi menendang tengkuk saya dari belakang saat saya terjengkang. Saat saya terjatuh, banyak sekali tendangan yang bersarang di tubuh saya. Sangat pengecut. Dan mereka melakukannya sambil tertawa.

”Apakah kau benar laki-laki? Apakah kau masih menyukai perempuan?” Tomi berkata sebelum mereka pergi.

Kami berkelahi karena saya mendebatnya di kelas. Ia setuju bahwa upacara penerimaan mahasiswa baru harus dengan gaya militer. Katanya, agar mengubah yang banci menjadi laki-laki sejati. Saya bilang ia bodoh, apa itu laki-laki sejati? Mereka tertawa dan bilang saya menolak karena saya memang terlihat seperti banci. Saya bilang ayo berkelahi sekarang juga. Ia menolak berkelahi. Tetapi ia baru saja mengeroyok saya di luar kelas, dan sekarang bertanya apakah saya menyukai perempuan. Tentu, goblok. Tentu saja saya menyukai perempuan. Saya menyukai rambut mereka. Saya menyukai lekuk payudara mereka. Lengan mereka yang halus. Tengkuk yang wangi. Saya sangat menyukainya. Saya berharap saya mempunyai semua hal itu.

**

Setelah pernikahan Bapak dengan Agatha, saya mencoba menghindari rumah. Saya tidak pernah pulang kampung. Kadang saya ingin mati. Saya suka mendebat orang. Tidak peduli seberapa besarnya dia.

Tetapi Tomi baru saja membuat saya sakit. Usai perkelahian itu, saya tidak bisa mengunyah nasi. Rahang saya sakit. Saya juga terlalu lemah untuk memasak, apalagi pergi ke mana-mana. Teman-teman di Kos Pelangi menelepon ke rumah. Agatha datang satu hari kemudian. Bapak terlalu sibuk untuk datang, katanya. Atau itu cara Bapak untuk mendekatkan saya dengan Agatha.

Saya tidak punya pilihan lain selain makan bubur buatan Agatha. Mendengarkan kata-katanya.

”Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu mau. Apa pun. Berhentilah mendengarkan Bapak. Berhenti mendengarkan orang-orang. Mereka hanya bisa menghakimi.”

Ia perempuan yang cerdas. Saya menangis. Dan merasa seperti telah lama mengenalnya. Kami berpelukan.

**

”Lihat, kamu cantik sekali.”

Saya tertawa. Agatha punya selera yang baik untuk pakaian. Ia baru saja memberikan kemeja putihnya untuk saya. Bapak hanya punya satu kemeja putih, tidak bisa dipinjamkan. Saya memakai kemeja Agatha. Kemeja perempuan, dengan pinggang yang kecil dan pinggul yang besar. Juga rumbai di pinggang dan lehernya. Sangat pas untuk saya. Saya mengikat kain tenun sedikit di atas pinggang dan melilitkan selendang ke leher untuk menyamarkannya bentuk kemeja itu. Ini Malam Natal, semua orang mengenakan kain tenun. Di balik kain tenun, orang tidak akan tahu apakah itu kemeja perempuan atau laki-laki.

Sebelum menyembunyikan kemeja itu di balik kain tenun, Agatha berdiri di depan saya dan mengagumi bajunya yang sangat cocok di badan saya. Ia membuka tas, mengeluarkan gincu, dan mengoleskannya ke bibir saya.

”Kamu cantik sekali. Kamu seharusnya menjadi perempuan!”

Dari kamarnya, Bapak ikut tertawa. Tawa yang datang dari masa lalu. Tawa yang datang setiap kali orang mengatakan bahwa saya seperti perempuan. Saya selalu tidak punya pilihan selain ikut tertawa. Berharap setiap tawa dapat mengubah hal-hal yang menyakitkan menjadi lelucon.

”Kamu punya uang receh? Untuk uang derma?” Bapak bertanya.

”Di tempat sirih-pinang!” Agatha menjawab.

”Di mana tempat sirih-pinang?”

”Di sekitar situ. Cari dahulu sebelum bertanya. Saya masih membetulkan pakaian Romi!”

Bapak terdiam sebentar. Kemudian menggerutu dalam bahasa Metô.

”Kalian cocok sekali,” katanya sambil mencari. ”Yang satu perempuan cantik. Yang satu laki-laki tetapi tidak tahu cara ikat sapi. Laki-laki tetapi pakai baju perempuan untuk Malam Natal. Seperti perempuan kecil. Dua perempuan di rumah saya. Cocok sekali. Kalian cocok sekali.”

Saya ikut tertawa. Tetapi tawa saya tidak mengubah tawa Bapak menjadi lelucon. Saya hapus gincu di bibir, dan saya mulai mencukur kumis tipis saya. Agatha menyetrika selendang sambil memiringkan bibirnya. Jangan dengarkan Bapakmu, matanya berkata. Kami memang cocok sekali. Saya dan Agatha. Bapak tidak tahu apa yang kami lakukan di Kupang.

Leiden, 2019

Keterangan

Uembubû : Rumah tradisional masyarakat Timor

Bahan : Pagar yang terbuat dari susunan kayu

Bahasa Metô : Bahasa masyarakat suku Metô, Timor

Kotpese : Sejenis kacang-kacangan

Felix K. Nesi

Lahir di Nesam-Insana, Nusa Tenggara Timur. Bukunya yang telah terbit berjudul ”Usaha Membunuh Sepi” (2016) dan ”Orang-Orang Oetimu” (2019). Bergiat di Komunitas Leko Kupang, Komunitas Dusun Flobamora, dan bacapetra.co.

Editor : Ilham Safutra

Merdeka

MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.

Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh berhenti.

Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.

Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.

”Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Continue reading “Merdeka”

Amir Membolos… Kata Bu Guru…

Lokasi : TK Senayan CeriaPONOKAWAN perempuan, Cangik dan anaknya, Limbuk, punya nazar. Mereka akan mbalekno KTP ke kelurahan. Dua-duanya tergugah tekad Bu Sutarti dan Bu Rusmini. Kedua janda pahlawan itu kan bakal mengembalikan ke negara sertifikat kepahlawanan mendiang suami mereka. Ya kayak gitulah kalau sampek pengadilan tega-teganya ngetuk palu menyalahkan keduanya lantaran didakwa nyerobot rumah dinas.

Ndak cuma itu. Bu Sutarti dan Bu Rusmini mengancam akan membongkar kuburan suaminya di Taman Makam Pahlawan. Buat apa negara pura-pura hormat ke almarhum suami mereka dengan kasih pusara nduk Kalibata, kalau nyatane janda-janda kusuma bangsa itu dikuyo-kuyo.
Continue reading “Amir Membolos… Kata Bu Guru…”

Ranggalawe Gugur

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta1

Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.

”Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.” Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.
Continue reading “Ranggalawe Gugur”

Terenyuh Sepasang Duda di Maliawan

SEPASANG duda di gunung Maliawan. Wajahnya sendu. Keduanya bergerak ke Istana Guakiskenda. Jaraknya masih bergunung-gunung. Nun di balik gunung terakhir, di bekas istana raja raksasa Maesasura itu bersinggasana Resi Subali. Sosoknya kera. Matanya tajam. Dan ia sakti. Dasamuka dan Dewa Indra di kahyangan bahkan takluk. Permaisuri Resi Subali itulah Dewi Tara.

Dewi Tara…Dewi Tara..Putri Batara Indra. Engkaukah itu, perempuan ayu yang mendudakan banyak lelaki?

Duda pertama Sugriwa namanya, adik kandung Resi Subali. Wujudnya juga rewanda, monyet. Ia pun sakti. Tak aneh, keduanya putra Resi Gotama yang digdaya di Gunung Sukendra. Namun sesakti-sakti Sugriwa apalah artinya dibanding Subali.
Continue reading “Terenyuh Sepasang Duda di Maliawan”

Rasa (buat sahabatku Iskan)

MEMANDANGI koran, melahap foto doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun, mataku tidak berkedip.”Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku memuji. ”Kalauaku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”

Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, ”Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?”Aku mengangguk.

”Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”

Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari tanganku..

”Seorang wanita adalah sebuah cahaya,” kataku selanjutnya menggembungkan pujian, ”Hanya cahaya yang bisa membuat negeri ini bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi bukan hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya, tetapi membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin negara yang sudah bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah menjadi perempuan, Ami!”
Continue reading “Rasa (buat sahabatku Iskan)”

Anak-anak Masa Lalu

BILA tidak ingin celaka, jangan melintas di Jembatan Sinamar pada waktu-waktu lengang, apalagi tepat di saat berserah-terimanya ashar dan magrib! Bukankah begitu sejak dulu, petuah para tetua, perihal jembatan yang tak pernah lekang dan usang itu? Namun, sebagaimana titian biasa runtuh, pantangan biasa dilanggar, bukankah pula, dari masa ke masa, selalu ada gerombolan anak-anak kampung ini, yang diam-diam hendak menyingkap rahasia tersuruk di sebalik pantang dan larang yang terus dimaklumatkan?

Maka, dengan segelimang gamang yang tak ditampakkan, mengendap-endaplah bocah-bocah kerempeng itu, tepat pada waktu terlarang. Mula-mula, sayup-sayup terdengar jerit dan rintih anak-anak seusia mereka, bagai sedang didera rasa sakit yang tak tertanggungkan. Seiring rembang petang, makin terang kedengarannya, hingga mereka memercayai suara gaib yang membuat bulu kuduk meremang itu berasal dari lantai Jembatan Sinamar. Menimbang keriuhan yang kian meninggi, rasa-rasanya asal jerit-rintih itu bukan dari satu orang, mungkin dua atau tiga. Lalu, di benak mereka, terbayang jasad anak-anak yang terjepit dalam jejaring beton bertulang. Mereka lekas berbalik, lari pontang-panting, seperti benar-benar sedang diburu hantu petang hari.
Continue reading “Anak-anak Masa Lalu”